Selamat datang di Kawasan Penyair Sumatera Utara Terima kasih atas kunjungan Anda

Kamis, 23 Februari 2012

SARTIKA SARI




SARTIKA SARI. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Unimed ini lahir di Medan pada tanggal 1 juni 1992. Saat ini bergiat di Komunitas Tanpa Nama dan Laboratorium Sastra Medan. Alhamdulillah pernah menjuarai beberapa Perlombaan seperti: Juara I Lomba Puisi Penyair Kota Medan tahun 2010, Juara Harapan III Lomba Baca Puisi Dewan Kesenian Medan, Juara II Lomba Cipta Puisi Komunitas Penulis Anak Kampus, Juara Pavorit Lomba Baca Puisi Rumah Kata, Juara III Lomba Baca Puisi Berpasangan, Juara III Lomba Baca Puisi LKK Unimed, Juara I Lomba Menulis Feature UKM Kreatif Unimed). Sejumlah karyanya (Puisi, Cerpen, Artikel, Cerita Anak) terbit di Media Cetak seperti Waspada, Medan Bisnis, Analisa, Jurnal Medan, Suara Pembaruan dan Sinar Harapan. Adapun beberapa karya lainnya telah termaktub dalam Antologi: Cahaya, puisi 53 penyair (Labsas, 2011), Kanvas Sastra, antologi puisi Mahasiswa Sumatera Utara (Garputala, 2011), Kepadamu Pahlawanku, antologi puisi (Bergerak Sastra, 2011), Double Spirit, antologi puisi (Hasfa Publisher, 2011) dan Dear Love For Kids, antologi cerita anak (Hasfa Publisher, 2011). Selain itu, berkesempatan diundang dalam The Second Jakarta International Literray Festival (JilFest). Alamat email : ssartika27@yaho.co.id.


Januari’12
: Terinspirasi dari Tragedi Lambu

dengan tangan yang sudah kita pasangkan
kami anyam rusuk jadi tembikar di lantai tuan
merawat dada, meski racun comberan,
belatung nempel menali pinggang
dan diam-diam mengafani badan

seperti bougenvile yang ditelanjangi matahari,
pelan-pelan aku tandus
setelah kemarin kau suling jadi anggur
di pertemuan rahasia, dewan.

aku masih memandang bintang itu duduk di punggungmu
agar tak lenyap nurani dari kebesaran tuhan

tapi aku gagal menyusun musim jadi lembaran iman
selalu saja, mata-mata di baris depan itu langsirkan tikaman,
sampai riuh memecah ruang
dan aku menunggang bara di garis perlawanan

bima kita, sudah berlidah anjing
ilalang jadi pagar parang
semak bengis:
menyayat kepala dan lengan
dari belakang


dan januari 2012
riwayat saudara jadi permainan
kita hanya teki lunglai,
gampang ditebas

tak ada niat menanam belati
aku sekedar bertamu
datang dengan keranjang kenangan bapak
dan beberapa jantung sanak tuan
ketika dulu masih digenang tawar kampung halaman

rupanya nusa kita sudah terlampau ganas
pangkat hanya label keberandalan
premanisme halal di gedung pemerintahan
punggung rakyat jadi badan jalan
dan aorta cuma monja di pasar loak yang jadi barang murahan
atau kotoran di usus busuk dari tangan parjagal
“inikah suara yang kita satukan?”

Medan, Sketsa Kontan


Ciluenyi
: ayahanda acep zamzam noor

rindu yang memuisi sudah menyerah.
karam
hilang
satu per satu karang sunda mengait mahar
lenyaplah segala yang pernah dienyam

“serupa jalan tamansari, bandung.”
antara ikhlas dan kenangan yang masih pedas

aku membaca bandung dari dua bait puisi
dan akan tetap begitu
sebab cileunyi hanya serupa tanda tanya
-tak akan pernah terjawab-

Medan, Sketsa Kontan


Dari Sebatang Rokok

langit siang berceracau.
kirim-sambut ocehan anak-anak awan.
lazuardi dalam berita, laris dipajang di atas kepala.

dan siang masih siang.

bocah pengendara harapan, sibuk menuai belas
dengan linang-linang hujan ke arah tuhan.
lelah
gundah
entah
cakap-cakap roda dua, tiga, empat,
jadi bualan
seperti skenario di belakang layar

hidup yang sebenarnya
hanya sebatang rokok
sejumput nasi dan seteguk air
tak usah perdulikan leher-leher kota
yang lebih panjang dari jerapah
: karena kita sudah mati.

nadi yang detak hanya denting jam kehabisan baterai
tinggal menunggu dibuang
sudah,
wajah kota, wajah kita, wajah mereka,
hanya wajah-wajah tembakau dalam gulungan,
gampang disulut dan terbakar.

Medan, Sketsa Kontan


Suatu malam, di Medan

daun kering mengeriap-ngeriap di badan jalan. gelombang sepeda roda dua, mulai surut. hanya gerobak sate, es kelapa, kacang rebus yang masih menyala. buku-buku sudah terlelap dalam kamarnya. barangkali mereka lelah, berbicara pada pembeli yang selalu merendahkan harga.

masih belum sepenuhnya.
titi gantung masih jadi mulut untuk bercakap-cakap. hei, malam masih kuncup! dan mereka makin seru berdagang perasaan. mengintip srilelawangsa, tubuhnya gigil menahan tikaman angin medan-luar.

debu jalanan masih berlarian.
sama seperti kenangan yang tak henti berloncatan di kepalaku. ketika malam yang telah berlalu itu, kau seruput kedinginanku dengan sepiring sate dan teh botol di depan kantor pos. lalu, kita hangatkan malam dengan perjanjian-perjanjian sekian tahun ke depan.
hingga malam benar-benar malam
kita menenun kamar di rumah-tempat yang berbeda-lewat kecupan separuh bibir rembulan.

Medan, Sketsa Kontan


Langit Sampireun

menyeduh pagi dengan secangkir puisi,
satu bait dari senyummu, satu dari tatap mesra,
dan satu dari kemanjaan di kalapalua.

ialah rindu yang menjadikanku perahu kayu
-lalu kau tumpangi berkeliling bungalow
menyapa pinus, menyambung sendu dengan alunan kecapi
dan kehangatan tatap pada malam yang kita rahasiakan.

kujadikan derak kaki pada papan-papan kayu
menjadi musik santai ketika senja landai,
: dan kau menari mirip gadis-gadis kembang, menawan

lalu,
kita ikat telaga dengan romantis,
: mirip pita bunga di rambutmu

malam itu kita susuri langit sampierun
dan selalu, aku ingin bersamamu
saat malam berpulang
sampai malam lagi

Medan, Sketsa Kontan

Jumat, 04 Maret 2011

HERNI FAUZIAH, S.Pd


HERNI FAUZIAH, S.Pd lahir di Medan,5 April 1964. Alumni Unsyiah dan Unimed Medan ini walau disibukkan mengajar di SMK Neg.8 Medan namun selalu aktif mengikuti perkembangan kesastraan Indonesia dan menulis. Karyanya berupa puisi, cerpen dan cerita rakyat banyak dimuat di harian Waspada, dan finalis reguler dan finalis Program Khusus LMCP 2005 dan 2006. Pernah ikut sayembara penulisan buku pengayaan ( 2011 ) oleh pusbuk kemendiknas jakarta berupa kumpulan puisi.


DAUN GUGUR TEPAT WAKTU
untuk sahabatku Antilan Purba

Saat itu dua empat tengah malam
gugur satu nama dalam catatan daun tahun dua nol satu satu
tertulis namamu jelas
pasti
tak ada keraguan

banyak kisah sudah tergores
yang kontemporer dan yang romantis
bahkan pernah kau bilang
itu namanya prosa liris

banyak yang masih dalam catatan harian
tertinggal
terserak
terselip-selip
dalam tas hitam usang

selamat jalan sahabat
kau jalan perlahan
berbekal lembaran catatan harian
nanti aku di persimpangan terakhir


PERMINTAAN

Ada banyak yang ingin kusampaikan
ketika bertemu di simpang terakhir
kau bawakan aku sapu tangan bersulam emas
namun kau hanya diam
dan tak bilang apa-apa

kita sama berpaling berbalik arah
kusimpan dalam genggaman sapu tangan bersulam itu
kusurukkan dalam-dalam ke sudut hati
sampai tengah malam
berlalu

hanya satu permintaanku
titipkan aku pada bulan
agar ku tenang dalam bayang-bayang malam


PAMIT

Hari ini tugasku telah selesai
catatan harian di lembar terakhir
goresan tinta sudah kelabu warnanya
puisipun kehabisan kata- kata

pamit aku untuk pulang
ke balik malam
sampai pagi
menjelang


Menimang Cucu

Seorang perempuan renta
melantunkan senandung buaian
tak berirama

Ceracau-ceracau
bagai suara mantera di antara wangi dupa
Seorang bocah
bertelanjang dada
meringkuk
merengkuh tubuhnya berselimut kain kumal, pudar warnanya

Gigil-gigil sisa tangisan tadi malam
masih lekat di gurat-gurat wajahnya
senandung buaian masih terdengar
mengisahkan cerita yang tertunda

Ayah tiada
Bunda di Saudi Arabia
bersandar di bahu yang renta
rapuh pula
dengan buaian kehilangan irama
senandung terus terdengar
entah sampai ke lembaran berapa
mereka tak berani menerka

Medan, 11 Maret 2011


Surat Buat Sang Datu

Datu
Ini kisah seribu duka
Dari negeri bertuah
Ukiran abadi pelukis bisu
Dari awal abad dua satu

Datu
Yang kulihat sepanjang mata
biru

Berkumpul seribu pusara
tanpa batas waktu
tanpa nama
dan nisan batu

Datu
kesaksian alam
indah dalam suratan
tanpa ragu
tancapkan tonggak sejarah
sampai waktu tak berwaktu

Medan, 3 Agustus 2008


Bilang pada ibu

Bilang pada ibu aku pasti pulang
Ketika matahari pancarkan sinarnya
Dari balik perdu pohon cemara
Esok pagi

Aku ingin dengar tembang ibu
Yang sayup-sayup terdEngar lagii
Kurindu nyanyian nyiur melambai
Yang sering kau dendangkan menjelang ku terlelap

Bilang pada ibu
Esok pagi kita bersama menyusur pinggiran pantai
Menangkap benih nener masukkan dalam keranjang
Betapa asyiknya kita ketika nener berubah menjadi bandeng-bandeng liar
Di dalam kolam belakang rumah

Bilang pada ibu
Aku tak pernah lupa aroma pucuk asam jawa
Menebar ketika ditiup angin dari laut
Sesekali debur ombak memecah di pantai
Menjadi irama abadi yang sulit ku lupa

Bilang pada ibu
Meski harapan ku tak pernah sampai
Karena tsunami menghapus kenangan itu
Ia tetap lestari bersama keabadian yang pasti

Medan, 26 Maret 2011

Selasa, 19 Februari 2008

M. Raudah Jambak,


M. Raudah Jambak, lahir di Medan-5 Januari 1972. Beberapa kegiatan yang pernah di kuti PEKSIMINAS III di TIM Jakarta (1995), work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater Alternatif GKJ Awards, di Jakarta (2003) dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti, Taman Ismail Marzuki. Karyanya selain di Medan juga pernah dimuat di Surat Kabar RAKYAT MERDE KA Jakarta dan Majalah SIASAH Malaysia,Majalah Horison Jakarta,Majalah Gong Jogja, BEN Jogja, Radio Nederland, Cyber sastra, Komunitas Sekolah Sumatera, RRI I Nusantara Medan, RRI Pro 2 FM, Bianglala dan surat kabar di Medan. Sering menjuarai lomba baca/cipta puisi, cerpen, dongeng, proklamasi dan juga Teater di Medan. Selain itu beberapa buku yang memuat karyanya jugasudahterbit,misalanya:MUARATIGA (antologi cerpen-puisi/Indonesia-Malaysia), 50 Botol Infus (Teater LKK IKIP Medan), KECAMUK (antologi pusi bersama SyahrilOK), TENGOK (antologi puisipenyair Medan), SERATUS UNTAI BIJI TASBIH (antologi puisi bersama A.Parmonangan), OMONG-OMONG SASTRA 25 TAHUN (antologi esay), MEDITASI (antologi puisi tunggal), AMUK GELOMBANG (sejumlah puisi elegi penyair Sumatera Utara, Ragam Sunyi Tsunami (kumpulan puisi, Balai bahasa Sumut)dan Perempuan berhati gerimis .Tembang Bukit Kapur (Penerbit Escava, Jakarta, 2007), Kumpulan cerpen Ranesi (Grasindo, 2007) Medan Sastra (DKSU, 2007), Jelajah (2003), Jogja 5,9 RC (antologi Puisi Jogja, 2006), Medan Puisi (2006) Sekarang ini aktif di Sanggar GENERASI Medan. Saat ini bertugas di beberapa sekolah sebagai staf pengajar, Panca Budi,Budi Utomo dan UNIMED,serta anggota HISKI Sumut (2005-2008) . Kepala Biro Sastra Seniman Indonesia Anti Narkoba (SIAN)Wil.Sum. Alamat kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. HP. 085830805157

Nak!

Biarkan malam mengurai kelam
Atau bulan akan sampai ke pagi
Melangkah pelan melewati bintang
Demi bintang di antara senandung sepi
Perzinahan telah pula menebarkan jaringnya
Kemaksiatanmengembangkan jubahnya
Dari kamar berukuran 3x3 meter, ruang-ruang
Sidang-perkantoran, atau tempat-tempat tak
Berjejak para pejabat atau istana para penjahat, selebihnya
Para belia cukup bermain-main dengan kemaluannya
Sambil menyaksikan film ulah para dewasa
Sudahlah, Nak!
Masa depanmu masih panjang
Dan kau harus bertahan
Membendung godaan-godaan
Kejahatan tidaklah merajalela
Di kebuasan malam, diapun
Menantang di terang garang
Ada demonstrasi dari tuntutan
Turun harga sampai tuntutan turun
Tahta, berita kawin paksa atau cerai
Tiba-tiba, listrik-listrik jadi bangkai,
Aliran air tidak hanya kerontang
Di persawahan, sementara iuran
Tiap bulan wajib dibayarkan-tanpa
Potongan, semua ingin jadi atasan
Sambil mengusung proposal kemelaratan,
Banjir, longsor, transportasi ambrol
Ah, semua bencana jadi gombal
Jangan, Nak!
Kau tidak usah ikut-ikutan
Sebab, bukan untuk itu
Kau dilahirkan
Di antara pekatnya hitam pasti ada
Setitik celah putih kau temukan ,
Walau waktu selalu bercanda dengan
Tik tak tik tak jarum jam yang patah
Dan Kau, Nak!
melangkahlah dengan semangat kebenaran
sebab, pada dirimu air susu ibu telah penuh
tercurahkan, pada rahim ibu engkau telah
pula dizikirkan, dengan keajaiban do’a-do’a,
maka, restu ibu akan menguatkan hatimu
menyongsong segala zaman.

2007

Minggu, 14 Oktober 2007

Harta Pinem



Lahir di desa Juhar Kabupaten Karo Sumatera Utara, 25 Juni 1958. Pendidikan formalnya diselesaikan di FPBS IKIP Medan tahun 1987 Puisinya pernah dimuat di Suara Pembaharuan, Republika, Suara Merdeka, Minggu Pagi, Solo Pos, dan Bali Pos. Sebagian di antaranya pernah diikutkan dalam sejumlah antologi seperti Mimbar Penyair Abad 21 (1996) Selain puisi ia juga menulis cerpen dan esai sastra. Salah satu puisinya :


Gebyar Suara

Untuk siapakah gebyar suara ini
Semua dihadirkan di aula Hotel Nuansa Pekanbaru
Malam kian bergemuruh
Ditambah musik karaoke di gedung sebelah
Inikah pergulan manusia menjelang maut tiba
Sementara Dita dan Widyawati asyik bicara tentang pergulatan
Hari esok
Sepulang menonton pertunjukan ABCD-nya musik masa kini
Kita tiduran di ranjang sunyi
Mengenang Chairil dan Raja Ali Haji
Gurindam itu kekasih bisakah menenangkan kita
Puisi-puisi luka itu dapatkah kita cerna lagi di sini
Kabarkanlah semua rindu ini pada Koran pagi
Aku tak punya kekuatan menahan sakit
Jika esok kita harus pulang
Semoga kenangan manis jadi ingatan sampai nanti


Medan, 2005

Sihar Ramses


(Jakarta)

Nama lengkap penulis Sihar Ramses Sakti Simatupang. Kelahiran Jakarta, 1974. Karya antologi puisi tunggalnya “Metafora Para Pendosa” (2004). Kumpulan cerpen tunggal “Narasi Seorang Pembunuh” (Dewata Publishing, 2005) dan novel “LORCA-Memoar Penjahat tak Dikenal” (Melibas, 2005).Menamatkan studi di Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Tergabung dalam komunitas Rumpun Jerami bersama A. Badri AQT dan Jonathan Rahardjo. Kini sedang menggarap novel “Lukisan Nabilla Pasha” dan “Perempuan Yang Menyepuh Danau dengan Airmata”. Salah satu puisinya :

Kerudung Airmata

tak ada yang tahu saat bayangku menghilang
saat dibantainya matahari,
disiksanya pelangi
dan diperkosanya bumi.

rumput berteriak untukku
memberitahukan tentang tari tak jadi
Daun-daun pada gemetar
melepaskan jurai-jurai pohon
pilin demi pilin

tak ada yang tahu itu
tatkala bayangku menjadi anasir lumpur
menggali kuburnya sendiri
membuat tonggaknya di depan
hamparan kidung-kidung kematian
yang mengeras menjadi batu

: di saat itulah,
engkau muncul mengenakan kerudung airmata itu