HERNI FAUZIAH, S.Pd lahir di Medan,5 April 1964. Alumni Unsyiah dan Unimed Medan ini walau disibukkan mengajar di SMK Neg.8 Medan namun selalu aktif mengikuti perkembangan kesastraan Indonesia dan menulis. Karyanya berupa puisi, cerpen dan cerita rakyat banyak dimuat di harian Waspada, dan finalis reguler dan finalis Program Khusus LMCP 2005 dan 2006. Pernah ikut sayembara penulisan buku pengayaan ( 2011 ) oleh pusbuk kemendiknas jakarta berupa kumpulan puisi.
DAUN GUGUR TEPAT WAKTU
untuk sahabatku Antilan Purba
Saat itu dua empat tengah malam
gugur satu nama dalam catatan daun tahun dua nol satu satu
tertulis namamu jelas
pasti
tak ada keraguan
banyak kisah sudah tergores
yang kontemporer dan yang romantis
bahkan pernah kau bilang
itu namanya prosa liris
banyak yang masih dalam catatan harian
tertinggal
terserak
terselip-selip
dalam tas hitam usang
selamat jalan sahabat
kau jalan perlahan
berbekal lembaran catatan harian
nanti aku di persimpangan terakhir
PERMINTAAN
Ada banyak yang ingin kusampaikan
ketika bertemu di simpang terakhir
kau bawakan aku sapu tangan bersulam emas
namun kau hanya diam
dan tak bilang apa-apa
kita sama berpaling berbalik arah
kusimpan dalam genggaman sapu tangan bersulam itu
kusurukkan dalam-dalam ke sudut hati
sampai tengah malam
berlalu
hanya satu permintaanku
titipkan aku pada bulan
agar ku tenang dalam bayang-bayang malam
PAMIT
Hari ini tugasku telah selesai
catatan harian di lembar terakhir
goresan tinta sudah kelabu warnanya
puisipun kehabisan kata- kata
pamit aku untuk pulang
ke balik malam
sampai pagi
menjelang
Menimang Cucu
Seorang perempuan renta
melantunkan senandung buaian
tak berirama
Ceracau-ceracau
bagai suara mantera di antara wangi dupa
Seorang bocah
bertelanjang dada
meringkuk
merengkuh tubuhnya berselimut kain kumal, pudar warnanya
Gigil-gigil sisa tangisan tadi malam
masih lekat di gurat-gurat wajahnya
senandung buaian masih terdengar
mengisahkan cerita yang tertunda
Ayah tiada
Bunda di Saudi Arabia
bersandar di bahu yang renta
rapuh pula
dengan buaian kehilangan irama
senandung terus terdengar
entah sampai ke lembaran berapa
mereka tak berani menerka
Medan, 11 Maret 2011
Surat Buat Sang Datu
Datu
Ini kisah seribu duka
Dari negeri bertuah
Ukiran abadi pelukis bisu
Dari awal abad dua satu
Datu
Yang kulihat sepanjang mata
biru
Berkumpul seribu pusara
tanpa batas waktu
tanpa nama
dan nisan batu
Datu
kesaksian alam
indah dalam suratan
tanpa ragu
tancapkan tonggak sejarah
sampai waktu tak berwaktu
Medan, 3 Agustus 2008
Bilang pada ibu
Bilang pada ibu aku pasti pulang
Ketika matahari pancarkan sinarnya
Dari balik perdu pohon cemara
Esok pagi
Aku ingin dengar tembang ibu
Yang sayup-sayup terdEngar lagii
Kurindu nyanyian nyiur melambai
Yang sering kau dendangkan menjelang ku terlelap
Bilang pada ibu
Esok pagi kita bersama menyusur pinggiran pantai
Menangkap benih nener masukkan dalam keranjang
Betapa asyiknya kita ketika nener berubah menjadi bandeng-bandeng liar
Di dalam kolam belakang rumah
Bilang pada ibu
Aku tak pernah lupa aroma pucuk asam jawa
Menebar ketika ditiup angin dari laut
Sesekali debur ombak memecah di pantai
Menjadi irama abadi yang sulit ku lupa
Bilang pada ibu
Meski harapan ku tak pernah sampai
Karena tsunami menghapus kenangan itu
Ia tetap lestari bersama keabadian yang pasti
Medan, 26 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar