SARTIKA SARI. Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Unimed ini lahir di Medan pada tanggal 1 juni 1992. Saat ini bergiat di Komunitas Tanpa Nama dan Laboratorium Sastra Medan. Alhamdulillah pernah menjuarai beberapa Perlombaan seperti: Juara I Lomba Puisi Penyair Kota Medan tahun 2010, Juara Harapan III Lomba Baca Puisi Dewan Kesenian Medan, Juara II Lomba Cipta Puisi Komunitas Penulis Anak Kampus, Juara Pavorit Lomba Baca Puisi Rumah Kata, Juara III Lomba Baca Puisi Berpasangan, Juara III Lomba Baca Puisi LKK Unimed, Juara I Lomba Menulis Feature UKM Kreatif Unimed). Sejumlah karyanya (Puisi, Cerpen, Artikel, Cerita Anak) terbit di Media Cetak seperti Waspada, Medan Bisnis, Analisa, Jurnal Medan, Suara Pembaruan dan Sinar Harapan. Adapun beberapa karya lainnya telah termaktub dalam Antologi: Cahaya, puisi 53 penyair (Labsas, 2011), Kanvas Sastra, antologi puisi Mahasiswa Sumatera Utara (Garputala, 2011), Kepadamu Pahlawanku, antologi puisi (Bergerak Sastra, 2011), Double Spirit, antologi puisi (Hasfa Publisher, 2011) dan Dear Love For Kids, antologi cerita anak (Hasfa Publisher, 2011). Selain itu, berkesempatan diundang dalam The Second Jakarta International Literray Festival (JilFest). Alamat email : ssartika27@yaho.co.id.
Januari’12
: Terinspirasi dari Tragedi LambuJanuari’12
dengan tangan yang sudah kita pasangkan
kami anyam rusuk jadi tembikar di lantai tuan
merawat dada, meski racun comberan,
belatung nempel menali pinggang
dan diam-diam mengafani badan
seperti bougenvile yang ditelanjangi matahari,
pelan-pelan aku tandus
setelah kemarin kau suling jadi anggur
di pertemuan rahasia, dewan.
aku masih memandang bintang itu duduk di punggungmu
agar tak lenyap nurani dari kebesaran tuhan
tapi aku gagal menyusun musim jadi lembaran iman
selalu saja, mata-mata di baris depan itu langsirkan tikaman,
sampai riuh memecah ruang
dan aku menunggang bara di garis perlawanan
bima kita, sudah berlidah anjing
ilalang jadi pagar parang
semak bengis:
menyayat kepala dan lengan
dari belakang
dan januari 2012
riwayat saudara jadi permainan
kita hanya teki lunglai,
gampang ditebas
tak ada niat menanam belati
aku sekedar bertamu
datang dengan keranjang kenangan bapak
dan beberapa jantung sanak tuan
ketika dulu masih digenang tawar kampung halaman
rupanya nusa kita sudah terlampau ganas
pangkat hanya label keberandalan
premanisme halal di gedung pemerintahan
punggung rakyat jadi badan jalan
dan aorta cuma monja di pasar loak yang jadi barang murahan
atau kotoran di usus busuk dari tangan parjagal
“inikah suara yang kita satukan?”
Medan, Sketsa Kontan
Ciluenyi
: ayahanda acep zamzam noor
rindu yang memuisi sudah menyerah.
karam
hilang
satu per satu karang sunda mengait mahar
lenyaplah segala yang pernah dienyam
“serupa jalan tamansari, bandung.”
antara ikhlas dan kenangan yang masih pedas
aku membaca bandung dari dua bait puisi
dan akan tetap begitu
sebab cileunyi hanya serupa tanda tanya
-tak akan pernah terjawab-
Medan, Sketsa Kontan
Dari Sebatang Rokok
langit siang berceracau.
kirim-sambut ocehan anak-anak awan.
lazuardi dalam berita, laris dipajang di atas kepala.
dan siang masih siang.
bocah pengendara harapan, sibuk menuai belas
dengan linang-linang hujan ke arah tuhan.
lelah
gundah
entah
cakap-cakap roda dua, tiga, empat,
jadi bualan
seperti skenario di belakang layar
hidup yang sebenarnya
hanya sebatang rokok
sejumput nasi dan seteguk air
tak usah perdulikan leher-leher kota
yang lebih panjang dari jerapah
: karena kita sudah mati.
nadi yang detak hanya denting jam kehabisan baterai
tinggal menunggu dibuang
sudah,
wajah kota, wajah kita, wajah mereka,
hanya wajah-wajah tembakau dalam gulungan,
gampang disulut dan terbakar.
Medan, Sketsa Kontan
Suatu malam, di Medan
daun kering mengeriap-ngeriap di badan jalan. gelombang sepeda roda dua, mulai surut. hanya gerobak sate, es kelapa, kacang rebus yang masih menyala. buku-buku sudah terlelap dalam kamarnya. barangkali mereka lelah, berbicara pada pembeli yang selalu merendahkan harga.
masih belum sepenuhnya.
titi gantung masih jadi mulut untuk bercakap-cakap. hei, malam masih kuncup! dan mereka makin seru berdagang perasaan. mengintip srilelawangsa, tubuhnya gigil menahan tikaman angin medan-luar.
debu jalanan masih berlarian.
sama seperti kenangan yang tak henti berloncatan di kepalaku. ketika malam yang telah berlalu itu, kau seruput kedinginanku dengan sepiring sate dan teh botol di depan kantor pos. lalu, kita hangatkan malam dengan perjanjian-perjanjian sekian tahun ke depan.
hingga malam benar-benar malam
kita menenun kamar di rumah-tempat yang berbeda-lewat kecupan separuh bibir rembulan.
Medan, Sketsa Kontan
Langit Sampireun
menyeduh pagi dengan secangkir puisi,
satu bait dari senyummu, satu dari tatap mesra,
dan satu dari kemanjaan di kalapalua.
ialah rindu yang menjadikanku perahu kayu
-lalu kau tumpangi berkeliling bungalow
menyapa pinus, menyambung sendu dengan alunan kecapi
dan kehangatan tatap pada malam yang kita rahasiakan.
kujadikan derak kaki pada papan-papan kayu
menjadi musik santai ketika senja landai,
: dan kau menari mirip gadis-gadis kembang, menawan
lalu,
kita ikat telaga dengan romantis,
: mirip pita bunga di rambutmu
malam itu kita susuri langit sampierun
dan selalu, aku ingin bersamamu
saat malam berpulang
sampai malam lagi
Medan, Sketsa Kontan