Selamat datang di Kawasan Penyair Sumatera Utara Terima kasih atas kunjungan Anda

Minggu, 14 Oktober 2007

Harta Pinem



Lahir di desa Juhar Kabupaten Karo Sumatera Utara, 25 Juni 1958. Pendidikan formalnya diselesaikan di FPBS IKIP Medan tahun 1987 Puisinya pernah dimuat di Suara Pembaharuan, Republika, Suara Merdeka, Minggu Pagi, Solo Pos, dan Bali Pos. Sebagian di antaranya pernah diikutkan dalam sejumlah antologi seperti Mimbar Penyair Abad 21 (1996) Selain puisi ia juga menulis cerpen dan esai sastra. Salah satu puisinya :


Gebyar Suara

Untuk siapakah gebyar suara ini
Semua dihadirkan di aula Hotel Nuansa Pekanbaru
Malam kian bergemuruh
Ditambah musik karaoke di gedung sebelah
Inikah pergulan manusia menjelang maut tiba
Sementara Dita dan Widyawati asyik bicara tentang pergulatan
Hari esok
Sepulang menonton pertunjukan ABCD-nya musik masa kini
Kita tiduran di ranjang sunyi
Mengenang Chairil dan Raja Ali Haji
Gurindam itu kekasih bisakah menenangkan kita
Puisi-puisi luka itu dapatkah kita cerna lagi di sini
Kabarkanlah semua rindu ini pada Koran pagi
Aku tak punya kekuatan menahan sakit
Jika esok kita harus pulang
Semoga kenangan manis jadi ingatan sampai nanti


Medan, 2005

Sihar Ramses


(Jakarta)

Nama lengkap penulis Sihar Ramses Sakti Simatupang. Kelahiran Jakarta, 1974. Karya antologi puisi tunggalnya “Metafora Para Pendosa” (2004). Kumpulan cerpen tunggal “Narasi Seorang Pembunuh” (Dewata Publishing, 2005) dan novel “LORCA-Memoar Penjahat tak Dikenal” (Melibas, 2005).Menamatkan studi di Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Tergabung dalam komunitas Rumpun Jerami bersama A. Badri AQT dan Jonathan Rahardjo. Kini sedang menggarap novel “Lukisan Nabilla Pasha” dan “Perempuan Yang Menyepuh Danau dengan Airmata”. Salah satu puisinya :

Kerudung Airmata

tak ada yang tahu saat bayangku menghilang
saat dibantainya matahari,
disiksanya pelangi
dan diperkosanya bumi.

rumput berteriak untukku
memberitahukan tentang tari tak jadi
Daun-daun pada gemetar
melepaskan jurai-jurai pohon
pilin demi pilin

tak ada yang tahu itu
tatkala bayangku menjadi anasir lumpur
menggali kuburnya sendiri
membuat tonggaknya di depan
hamparan kidung-kidung kematian
yang mengeras menjadi batu

: di saat itulah,
engkau muncul mengenakan kerudung airmata itu